Sahabat...
Cahaya keemasan matahari dan hembusan angin sore membuat daun-daun kecil
berguguran di pinggir danau dan menyilaukan pandanganku pada secarik kertas di
depanku. Hari-hariku terasa menyenangkan dengan sebuah kuas yang terukir namaku
“Intan”. Yah, boleh dikatakan aku gemar
melukis di tempat-tempat yang menurutku indah dan tenang. Apalagi dengan
seorang sahabat, membuat hidupku lebih berarti.
Dari kejauhan terdengar alunan biola nan merdu semakin mendekati gendang
telingaku. Alunan merdu itu membuatku semakin penasaran.
“Ya sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja”
Dengan rasa penasaran, aku sambil mengemas peralatan lukisku dan mengendarau
sepeda menyusuri jalan komplek rumahku yang berbukit dan rindangnya pepohonan
sepanjang jalan di bawah cahaya mentari yang mulai redup.
*
* *
Pulang petang menjadi hal yang biasa
bagi Putri. Seorang gadis tomboy berambut
hitam panjang yang selalu di kuncir ke atas. Dia selalu bermain basket di bawah
rumah pohonnya, letaknya di samping danau yang airnya tenang, setelah pulang
dari les. Dengan mengusap keringat di pipinya dia bergegas menyusuri komplek
rumahnya dengan perasaantakut karena selalu pulang telat.
Pada waktu yang bersamaan, Indah meletakkan sepedanya ke garasi dan
melihat Putri
“Putri,, dari mana saja kamu?
“Aku mencarimu! Kata Intan
“Aku main basket di tempat biasa, di bawah rumah pohon. Ma’af, udah buatmu
khawatir.”
“Entahlah…. Sudah dulu ya, bau banget nih.
“Huuhh,, dasar cewek gadungan, aku dicuekin lagi…! Kesal Intan
Dengan rasa kesal, gadis itu pun masuk ke kamar khayalannya. Meletakkan
peralatan lukisnya di sudut ruangan dekat lemari kaca yang penuh dengan boneka
kucing dan patung kecil yang terbuat dari tanah liat. Ia selalu menatap lukisan
sunset yang di belakang pintu kamarnya. Ketika melihat itu, ia merasakan
tenangnya dunia di lautan lepas.
*
* *
Putri segera membersihkan dirinya karena
takut ibunya marah. Ibunya pun heran melihat tingkah anak semata wayangnya itu.
Sifat keras kepala Putri yang biasanya tampak, namun kala
itu hati tomboynya bisa luluh dengan rasa bersalahnya. Ketika ia duduk di atas
kursi yang tinggi sambil mengamati indahnya malam. Tiba-tiba ia merasakan sakit
pada badannya, perutnya nyeri dan nafasnya terasa sesak. Lintang bingung dengan
apa yang dia rasakan dan tiba-tiba ia terjatuh dari kursi tingginya, mencoba
mengendalikan diri untuk bangkit ke tempat tidur dan beristirahat.
*
* *
Teriknya mentari dan angin sepoi-sepoi yang dirasakan di bawah pohon nan
rindang, membuat siswi SMA ini hanyut dalam imajinasi. Khayalan yang sungguh
nyata membawa ia larut dalam impian.
“Hai ntan, asyik bener nih melukisnya, lihat
dong. Pasti lagi gambar aku kan? Kejut Putri
“Hmm,, ngapain juga aku gambar kamu. Seperti gak ada Gambar lain aja yang lebih bagus.. indah dan indah d pandang hahahha..
Mereka begitu asyik bercanda tanpa menghiraukan teman yang lain di sekitarnya
yang merasa kebisingan karena tingkah mereka yang sungguh beda dengan siswi
lainnya. Dan anak-anak yang lain sebaliknya sudah merasa biasa dengan sikap
mereka itu.
“Aku mau cerita..tapi……….(serius putri_
“Cerita aja…ada apa? ( Sambil menatap
mata putri)
Tiba-tiba, putri terjatuh. Kata-kata yang ingin ia
bicarakan tidak mampu terucap. Kepanikan Intan
ini sungguh luar biasa. Ketika di ruang UKS, Putri
terbaring tak berdaya Intan berlari menyusuri kelas dan mencari
telepon di sekolahnya. Untuk memberi kabar pada orang tua putri dan membawanya ke rumah sakit..
“Aku ada di mana? Aku Kenapa? ( sadar putri)
“Tenang put “
“Kamu ada di rumah sakit. Kamu tadi pingsan di taman belakang sekolah. Kamu
nggak apa-apa kan? (khawatir Intan)
“Eman Aku sakit apa? Mana Ibu?”
“Dokter masih belum memberitahukan pasti penyakitmu. Ibumu masih dalam perjalanan. Bersabarlah sebentar. Cepat sembuh
ya,, biar sore ini kita bisa belajar bareng, kan kamu udah janji kemaren.”
“Mungkinkah penyakitku itu serius?””ahh, jangan berpiir gitu, kamu pasti
sembuh. Semangatlah, aku akan ada di sampingmu..”
“Sudah, sekolah sana. Biar pintar, dan bisa membalap rangkingku. Hhaha…”
“Iihh,, kamu. Calon ilmuan gini diejekin. Pasti dong aku bisa. Hhehe”
“Ya deh,, buktikan ke aku ya nanti.”
“Iya, pasti nya ntan “ Suatu saat kita akn merayakan
keberhasilan kita. Aku ke sekolah dulu ya.! Sebentar lagi, orangtuamu juga akan
ke sini. Bye !!”
“Bye.. Hati-hati ya Ntan. Thank’s!"
*
* *
Jalan lorong sekolah tampak sepi, hanya ada seorang gadis berambut hitam pendek
duduk di depan kelas musik sambil membawa biola dengan wajah yang tampak
murung, intan segera menghampirinya.
“Hai, kenapa kamu sendiri? Nggak masuk kelas?” Tanya Intan sedikit heran
“Hmm, aku.. aku.. mau sendiri di sini aja.”
“Jangan seperti anak kecil, ayolah masuk. Tapi, apa yang membuatmu sedih?”
penuh heran
“Tadi, ketika ada pemilihan bakat pemain biola, aku ada kesalahan memainkan
nada, sampai-sampai alunannya nggak enak didengar. Mereka menertawakanku,
padahal aku baru saja pindah ke sekolah ini jadi aku masih belum pandai
memainkan alat musik seperti biola ini..”
“Kamu sudah hebat kok, kamu bisa memainkan alat musik kesukaanku, dan aku… aku
hanya bisa menggambarnya. Yang penting, tetap berjuang!! Daah..aku ke kelas
dulu ya..”
“Thengs.. siapa namamu?”
“Intan!" Teriaknya.. (sambil berlari)
Nafas yang terengah-engah membasahi wajah gadis lembut nan periang itu. Intan segera masuk ke kelas lukisnya yang sudah mulai belajar.
Sambil menyapu keringatnya, teringat sahabatnya yang terbaring lemah.
(Mungkinkah kami akan terus bersama?) dalam hatinya berkata.
Ibu Tari masuk ke kelas tiba-tiba. Meihat Intan
yang sedang melamun segera menghampirinya.
“Ntan, kenapa kamu?”
“Ohh.. Ibu. nggak apa-apa bu.”
“Kamu bohong, da masalah kayanya? Tidak biasanya kamu seperti ini!”
“Ii..ia bu.”
“Memangnya ada apa, sampai-sampai mengganggu pikiranmu seperti ini?’
“Sahabatku, putri. Dia masuk rumah sakit dan
sepertinya penyakitnya parah.”
“Ohh,, putri ya. Hmm Gimana
kalau sepulang sekolah nanti kita menjenguknya” ajak bu Tari
“Ibu mau menjenguknya? “
“Iya,, nggak apa-apa kan?”
“I..ya. nggak masalah.” Semangat Intan...
Ibu Tari adalah guru yang paling disukai banyak siswa. Tak kadang banyak siswa
yang curhat. Beliau memiliki jiwa keibuan, walaupun beliau belum menikah.
Beliau sangat perhatian dan mengerti perasaan orang lain.
Ibu Tari memberi semangat Intan, membuat ia semangat pula bertemu Putri. Ia menyelesaikan lukisan pemandangan dengan kuas
kesayangannya. Kali ini, ia mendapat pujian dari teman-teman dan bu Tari.
Sampai-sampai lukisannya akan diikutkan dalam pameran lukisan. Lukisannya
menggambarkan seorang gadis berkerudung duduk di
atas tebing tinggi yang dihantam ombak di tepi pantai. Lukisan itu pun dihiasi
pantulan sinar matahari di penghujung hari. Gambarnya begitu nyata, dan membawa
dalam khayalan. Intan dan bu Tari pun berangkat menjenguk
Putri
Hanya mereka berdua yang masih berada di sekolah. Tak heran, suara mereka
menggema ketika lewat lorong sekolah. Intan
melepas pandangannya ke arah taman di samping lapangan basket. Ia sempat kaget
ada seorang gadis duduk di atas potongan pohon. Ketika ia hampiri, ternyata
gadis biola itu.
“Hai, belum pulang?" Sapa Intan
“Hmmn. Belum ntan’
“Ngapain kamu sendiri di sini, Sha?” Sahut bu Tari
“Lho, ibu kenal dia?” sahut Nesya ya?”
“Iya,, ibu mau ke mana, kok sama Intan?”
“Ibu sama Intan mau ke rumah sakit, jenguk
sahabatnya Intan. Kamu mau ikut?”
“Ya,, boleh. Ayo! Panasnya terik matahari sudah mulai membakar kulit nih..”
ajak Nesya
“Hhhhaha….” Sambung Intan
*
* *
intan meletakkan sekeranjang buah yang di
bawanya. Kebetulan, kapten tim basket mereka juga jenguk putri. Rasa tak percaya meliputi kedua sahabat ini. Dalam keadaan
yang tak mudah untuk mereka bersenda gurau. Padahal, rame kan, semuanya pada
kumpul.
“Bagaimana keadaanmu?” kejut Nesya
“Ya, lumayan lah, agak mendingan.” Dengan suara datar sambil menunduk.
Lintang mengangkat kepalanya, dan…. “Haahh,, Nesya!”
teriaknya
“Bagaimana bisa kamu di sini Sya?”
“Syukurlah. Tadi aku diajak bu Tari dan Intan.
Dan ternyata, yang terbaring saat ini adalah sahabatku.”
“Sebenarnya, kamu sakit apa sih?” sambung Intan
“a..ku, sakit Leukimia..”
Semuanya tercengang, tak ada seorang pun yang berani memulai pembicaraan.
Termasuk kapten basket Rava yang langsung terdiam ketika ia
memainkan dasinya..
“Kalian tak usah khawatir, di sisa umurku ini aku tak akan membuat kalian
kecewa”
“Jangan bilang begitu, yakinlah kamu masih bisa bermain basket lagi..” sahut Rava
“Yaa, teruslah bersemangat. Siapa yang tahu kan takdir Tuhan. Semoga kamu cepat
sembuh.” Sambung bu Tari
( Putri terharu mengingat dan menyimpan momen
ini. Ia memejamkan matanya hingga butiran air menetes di pipinya). Semuanya merasa
iba padanya, khususnya Rava teman basketnya yang justru tidak
mau kehilangan main lawannya walaupun Intan
dan Nesya merasakan halyang sama dengannya.
Bu Tari memulai pembicaraan setelah semuanya membeku.
“Hari mulai sore nih, kalian semua masih belum ada yang mau pulang?”
“Belum bu, sebentar lagi.” Jawab mereka serempak.
“Ya sudah, ibu pulang duluan. Cepat sembuh, ya Put.
Jangan patah semangat, kasihan sahabat dan tim basketmu, pasti
mengkhawatirkanmu. Asalamualaikum…” kata bu Tari
“walaikumsallam.. Iya bu, makasih. Hati-hati ya bu..”
Suasana berubah menjadi hening kembali..
“Aku tak ingin kehilanganmu, Putri. Selalu ingat kata-kataku…"
(bisik intan)
“Kamu-Sahabat_Terbaikku” mereka serempak.
Hari ini terasa cukup singkat. Membawa mereka dalam canda tawa dan kerinduan. Intan dan Nesya segera pulang membawakabar perih
dan memandang dengan rasa tak percaya. Diana teringat akan lukisannya. Di dalam
hatinya dia ingin menjual lukisan itu untuk biaya Putri. Ia merasa iba melihat orang tua Putri pergi bolak balik mencari uang.
“Ntan, ada apa denganmu?’ kejut Putri
“Tidak, kami harus pulang. Hari sudah mulai gelap nih”
“ohh, ya. Besok mungkin aku sudah diperbolehkan pulang jika kondisiku stabil”
“Cepat sembuh, ya”……
*
* *
Di depan lukisannya, intan duduk termenung sambil menulis di buku diarynya.
Malam
ku sepi..
Tak
sanggup ku mengungkapkan
Air
mata membendung di kelopak mataku..
Walaupun
aku tertawa, tapi aku tetap merasakan bila hati ini menangis melihat nya
tersenyum.
Jika
Engkau mengizinkan. Takkan ku biarkan ia terbelenggu…
Kamu_sahabat_Terbaikku
Ia simpan buku diarynya di tumpukkan buku pelajarannya. Intn memikirkan solusi untuk membantu Putri. Ia meluangkan
waktu nya untuk melukis sebanyak-banyaknya
untuk di jual tanpa sepengetahuan Intan.
Nesya yang baru dikenalnya juga turut membantu.
Tak heran, ibunya Intan tiap hari selalu menyiapkan
keperluan melukisnya. Malam semakin larut, Nesya yang juga tampak terlihat lelah memutuskan untuk menginap.
Mereka terbaring di tempat tidur, namun tak ada salah satu dari mereka yang
tertidur.mereka sama-sama ingin merencanakan sesuatu….
3 hari kemudian…
Pohon-pohon yang menjulang tinggi disinari matahari yang masuk dicelah-celah
dedaunan yang rindang. Intan dan Nesya
sengaja membawa Putri ke danau. Intan menggelar tikar, menyusun makanan, peralatan lukis, dan tempat
mereka duduk. Sedangkan Nesya bersiap-siap di atas rumah pohon
sambil memegang biola kesayangnnya. Namun dengan Putri,
ia justru merasa kebingungan dengan kedua temannya itu, sambil mengikik heran melihatnya.
Intan memulai dengan memukul kedua
kuasnya menandakan Nesya yang memainkan alunan biola yang
merdu dengan lagu berjudul “semua tentang kita” sambil bernyanyi.
Waktu
terasa semakin berlalu
Tinggalkan
cerita tentang kita
Akan
tiada lagi kini tawamu
Tuk
hapuskan semua sepi di hati
Teringat
di saat kita tertawa bersama
Ceritakan
semua tentang kita
Ada
cerita tentang aku dan dia
Dan
kita bersama saat duu kala
Ada
cerita tentang masa yang indah
Saat
kitaberduka saat kita tertawa
Ketika lagunya selesai, tiba-tiba mereka semua terdiam sejenak. Suasana seperti
di pemakaman, sepi, sunyi, hening, hanya hembusan angin yang terdengar. Intan membuka pembicaraan.
“Dan aku baru ingat. Dulu ketika aku melukis sendiri di sini aku kagum dan
penasaran siapa yang memainkan biola ternyata… itu kamu, Sya!”
“Iya,, tengs. Aku sengaja memainkannya karena semenjak aku tinggal di sini aku
sangat kesepian. Dan ketika aku menemukan tempat indah ini, setiap sore di
waktu luangku, aku bermain biola. Kebetulan, aku melihat seorang gadis sedang
melukis.”
“waah.. kalian sungguh hebat! Aku juga kagum pada kalian, kalian sendiri yang
membuat acara ini dan kalian juga yang mendapatkan kejutan. Ketika pertama kali
bertemu Intan, aku juga kagum atas sikapmu yang
selalu memperdulikan teman-temanmu. Jika aku pergi nanti jangan lupakan
persahabatan kita ini ya..”
“Ah, kalian ini selalu membuatku GR. Tapi makasih ya atas pujiannya.ku yakin,
kalian juga mempunyai keistimewaan masing-masing. Dan kamu Put, si cewek gadungan.
Masa jiwa tomboymu yang tegar dipatahkan dengan adanya penyakit ini. Justru
dengan ini kamu bisa bertambah tegar yang tahan bantingan.. hahaha.
“Emang aku bola, tahan bantingan. Hahaha! Ketus Putri
Intan tak ingin membuat hati
teman-temannya terluka, ia selalu mencoba untuk tersenyum walau di hatinya sangat
mengganjal. Tak lupa, Intan melukis simbol persahabatan mereka ”.
Dari kejauhan Rava sedang bersepeda mengitari danau,
melihat tingkah mereka yang terlihat ekspresif dan penuh canda tawa. Tapa
berpikir panjang, ia menghampiri ketiga cewek itu sambil membawa gitarnya dan
langsung duduk di tikar.
“Eh, kamu. Udah minta izin dengan yang punya belum? Sembarangan aja duduk.”
Judes Intan
“Kok gitu, sih Ntan. Nggak apa-apa kok.” Bela Putri
“Coba deh kalian lihat, dia mau ngehancurin acara kita.” Sebel Intan
“Eh kamu, bagai ratu aja. Putri aja nggak keganggu. Sekali-sekali
dong aku ikut gabung. Kan jarang-jarang bisa dekat sama cowok popular di
sekolah. hitung-hitung kesempatan buat kalian.”
“Ya sudah, cukup. Kita nyanyi bareng lagi yuk….” Lerai Nesya
“Eh, ganti dong simbolnya jadi…Sahut Rava
“Ah, kamu ini ada-ada saja. Semoga masih ada ruang untuk menulis namamu ya..
hahaha
“hhuuhh…”
Seharian mereka jalani untuk menghibur Lintang. Walaupun diantara mereka baru
saling mengenal, tapi mereka seperti mempunyai kekuatan magnet. Hari-hari
mereka selalu bersama.
*
* *
Waktu yang tepat ditemukan intan dan Nesya untuk
menjalani rencana kedua mereka. Mereka sudah mengatur strategi agar lukisan Intan laku terjual. Hampir 2 minggu penuh mereka meluangkan waktu
untuk menjualnya. Uang yang terkumpul lumayan banyak, dan segera mereka berikan
pada orang tua Putri tanpa sepengetahuan Putri. Rava yang biasanya sibuk dengan tim
basketnya, akhirnya ikut membantu juga.
Di waktu yang bersamaan mereka datang ke rumah Putri
secara tersembunyi, mereka melihat Putri
kesakitan sambil memegang perutnya. Kekhawatiran mereka tak dapat dibendung.
Mereka segera membawa Putri ke rumah sakit dan memberitahukan
orang tuanya. Mengingat Putri adalah anak semata wayang orang
tuanya.
Ternyata, penyakitnya bertambah parah. Sebenarnya, Putri pulang dari rumah sakit karena keterbatasan biaya. Uang
yang mereka dapatkan tidak cukup untuk membiayai semua pengobatan Putri. Di tambah lagi ayah Putri
yang hanya memiliki tabungan seadanya, itu pun telah habis digunakan. Terpaksa,
Putri hanya bisa di opname tanpa harus
membeli semua obat yang diperlukan.
*
* *
Setiap lorong sekolah kelas X ramai dipenuhi siswi yang mendengar kabar
mengenai Putri. Anak yang tomboy dan disenangi banyak orang.
“Hai, Ntan Gimana keadaan Lintang? Apa dia membaik?
Kapan kalian mau menjenguknya lagi?” (pertanyaan runtun dari Rava)
“Hello Rava, kalau nanya satu-satu dong. Kamu
bukan mau wawancara kan?” jawab intan
“Emang, kami orang tuanya? Kami juga belum tahu keadaannya. Ayo kita jenguk aja
sama-sama pulang sekolah” tegas Nesya
Bunyi bel panjang bertanda telah berakhir jam pelajaran. Hujan yang tampak
lebat, membuat para siswa harus menunggu sampai hujan reda. Tiba-tiba handphone
Rava berbunyi, padahal peraturan sekolah
dilarang membawa handphone, suara di seberang membawa berita buruk.
Hujan yang lebat tak mereka perdulikan. Mereka lari basah-basahan menuju rumah
sakit sambil menangis terisak-isak. Mereka sangat khawatir dan tak percaya
bahwa kabar itu memang benar nyata. Sahabat mereka Putri meninggal dunia.
Nyawanya tak dapat tertolong lagi karena penyakitnya semakin hari semakin
parah. Orang tua Putri merasa kehilangan dan terpukul,
namun semua adalah kehendak-Nya. Orang tua Lintang juga sangat berterima kasih
pada Nesya, Intan,
dan Rava. Menganggap mereka sebagai anaknya.
*
* *
“Tak
sempat ku berikan
Tak
sempat ku sampaikan”
Kalimat itu selalu melintas dipikiran Intan.
Begitu pula Nesya dan Rava.
Kerasa tak percaya, kehilangan, kerinduan, tersirat dibenak mereka. Mereka
termenung di tepi danau sambil menyanyikan lagu “Semua Tentang Kita” yang biasa
mereka nyanyikan.
Waktu
terasa semakin berlalu
Tinggalkan
cerita tentang kita
Akan
tiada lagi kini tawamu
Tuk
hapuskan semua sepi di hati
Belum sempat lagu itu dinyanyikan, butiran air mata membasahi di pipi
ketiganya. Orang tua Putri tiba-tiba datang
dan ikut duduk di antara mereka. Memberikan semangat pada Nesya, Intan dan Rava
bahwa masa depan mereka juga menjadi kebanggaan orang tua angkat mereka. Ibu Putri tiba-tiba menyerahkan secarik kertas berwarna biru yang
bergambar bunga. Tangan Rava bergetar ketika memegang kertas
itu. Rasa penasaran membuat ia segera membuka dan membacanya seperti sedang
lomba baca puisi.
Sahabatku
impianku
Cita-citaku
imajinasiku
Bukan
hal yang salah memiliki mimpi
Bukan
hal yang salah mempunyai tujuan
Tujuan
seperti sinar
Kesana
lah kita berlari
Dan
untuk itulsh kita hidup
Tapi,
terkadang sinarnya terlalu menyilaukan
Membuat
kita sulit melihat
Sehingga
tiba suatu saat kita harus sejenak berhenti
Untuk
menghindari sinar yang ada pada kita sendiri
“Waahh, sungguh bersemangatnya dia. Aku piker karena fisiknya lemah, jiwanya
akan goyah. Tapi aku salah. Hebat!! Puji Intan.
Sambil melanjutkan lukisannya.
“Iya..”sambung Nesya sambil meneteskan air mata.
Suasana menjadi hening kembali. Kemudian Intan
berteriak girang sambil meneteskan butiran air mata yang melintas di pipinya.
“Lukisan nya akhirnya selesai”
“Waahh..keren.!”
Mereka menatap terpesona lukisan yang melambangkan persahabatan ini yang
terlihat indah karena di sekitar tulisan itu ada gambar wajah mereka
masing-masing. Di danau inilah sejarah persahabatanku. Dan tempat inilah aku
dan sahabatku berbagi walau hanya sekedar untuk mengenang Putri
SELESAI
Karya
: Rica Okta Yunarweti
Alamat
Fb : Richa Oktaa
e-mail
: icaotana@yahoo.co.id